LAPORAN PRAKTIKUM
GENETIKA
PERCOBAAN X
ALEL GANDA
NAMA : NUR ULFIKA
NIM : H041201054
HARI/TANGGAL : JUMAT/ 30 APRIL 2021
KELOMPOK : IV (EMPAT)
ASISTEN : KEZYA TANGKETASTIK
LABORATORIUM GENETIKA
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Belum banyak yang mengetahui bahwa dalam alel itu ada yang disebut sebagai alel ganda beserta contoh dan komponen-komponen yang terdapat di dalamnya. Contoh sederhananya adalah darah yang memberikan peranan amat penting untuk kehidupan suatu organisme. Masyarakat luas sudah tidak asing lagi dengan kata golongan darah atau transfusi darah atau bahkan tak heran dengan berbagai variasi warna bulu pada kelinci. Namun pengetahuan mereka hanya sebatas itu tanpa mengetahui apa hubungannya dengan alel ganda yang terdapat pada gen. Alel ganda bukan hanya sebatas ada pada manusia melainkan pada hewan dan tumbuhan pun alel ganda itu ada. Tetapi ada perbedaan antara alel ganda pada manusia, hewan, dan tumbuhan (Siti, 2011).
pada suatu organisme jumlah gen jauh lebih besar dari pada jumlah kromosom, maka tiap kromosom harus mengandung banyak gen. tempat pada kromosom di mana terdapat suatu gen tertentu disebut lokus. Kedua alela yang mengontrol suatu sifat tertentu, terletak pada lokus yang sama pada masing masing kromosom yang homolog. Untuk memperagakan kebenaran teori kromosom, kita harus mampu menghubungkan ada atau tidak adanya suatu sifat tertentu dengan ada atau tidaknya suatu kromosom tertentu di dalam sel-sel organisme itu (Campbell dkk, 2010). Oleh karena itu, dilakukan praktikum alel ganda untuk memahami hal-hal yang terkait dengan materi alel ganda serta
golongan darah.
I.2 Tujuan Percobaan
Tujuan dari praktikum ini adalah:
1. Menetapkan golongan darah masing-masing individu dalam populasi kelas.
2. Memahami pola pewarisan alel ganda, khususnya golongan darah manusia.
3. Menghitung frekuensi alel IA, IB, dan i dalam populasi kelas.
I.3 Waktu dan Tempat Percobaan
Percobaan ini dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 23 April 2021 pukul 13.45-16.00 WITA. Bertempat di laboratorium genetika, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar. Pengamat atau peserta dari percobaan mengamati secara jarak jauh atau daring dari rumah masing-masing melalui platform Zoom Meeting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Alel Ganda
Sampai saat ini, masih ada yang beranggapan bahwa suatu lokus dalam sebuah kromosom itu hanya ditempati oleh salah satu dari sepasang alel saja. apabila sebuah lokus dalam sebuah kromosom ditempati oleh beberapa atau suatu seri alel maka alel-alel demikian disebut alel ganda (multiple alleles). Kemudian peristiwanya dinamakan multipel allelomorfiI (Suryo, 2016). Alel merupakan bentuk alternatif sebuah gen yang terdapat pada lokus (tempat tertentu). Individu dengan genotipe AA dikatakan mempunyai alel A, sedang individu aa mempunyai alel a. Demikian pula individu Aa memiliki dua macam alel, yaitu A dan a. Jadi, lokus A dapat ditempati oleh sepasang (dua buah) alel, yaitu AA, Aa, atau aa, bergantung kepada genotipe individu bersangkutan (Susanto dan Hery, 2011).
Alel ganda adalah fenomena adanya tiga atau lebih alel dari suatu gen. biasanya satu gen tersusun dari dua alel alternative. Alel ganda dapat terjadi akibat mutasi (perubahan pada struktur molekul DNA). Mutasi akan menghasilkan banyak variasi alel. Setiap kali ada lebih dari dua alel yang diidentifikasi pada gen dalam populasi , maka akan ada seri alel ganda. Hirarki dominansi harus diidentifikasikan pada bagian awal setiap soal tentang alel ganda. Sebuah huruf besar biasanya digunakan untuk menunjukkan alel yang dominan terhadap alel-alel lainnya dalam seri tersebut. Huruf kecil menunjukkan alel yang resesif terhadap semua alel lain dalam seri tersebut. Alel-alel lain, yang intermediet derajat dominansinya di Antara kedua ekstrem tersebut, biasanya dilambangkan dengan huruf kecil dengan superskrip yang sesuai (Effendi, 2020).
Alel ganda (multiple alleles) adalah adanya lebih dari satu alel pada lokus yang sama. Pada manusia, hewan dan tumbuhan dikenal beberapa sifat keturunan yang ditentukan oleh suatu seri alel ganda. Golongan darah ABO yang ditemukan oleh Lendsteiner pada tahun 1900 dan faktor Rh yang ditemukan Lendsteiner bersama Weiner pada tahun 1942 juga ditentukan oleh alel ganda. Untuk golongan darah tipe ABO misalnya, dikenal oleh alel ganda IA, IB dan i. Sebagaimana kita ketahui bahwa pengertian alel ganda ialah bahwa dalam suatu populasi individu jumlah jenis alel pada suatu lokus terdapat lebih dari dua (Aditia, 2014).
Darah adalah jaringan dasar yang terdiri atas dua komponen, yaitu plasmadarah yang mencakup serum (cairan darah), trombosit (fragmen-fragmen sel yangmembantu dalam pembekuan darah), dan protein. Sebagian protein yang sangatbanyak adalah albumin, immunoglobulin, fibrinogen dan enzim pembeku darah.Komponen yang lain adalah komponen padat yang meliputi sel-sel darah yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah atau yang dikenal dengan sebutan trombosit (Bresnick, 2013).
II.2 Sistem Penggolongan Darah
Golongan darah merupakan ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah. Golongan darah ditentukan oleh jumlah zat (kemudian disebut antigen) yang terkandung di dalam sel darah merah. Setiap manusia memiliki golongan darah yang berbeda –beda. Golongan darah manusia ditentukan berdasarkan jenis anti gen dan anti bodi yang terkandung dalam darahnya, golongan darah tersebut dibagi menjadi empat golongan yaitu di antaranya golongan darah A , B , AB dan golongan darah O (Widiyanti dkk, 2019). Golongan darah seseorang mempunyai arti penting dalam kehidupan karena golongan darah itu herediter. Sampai saat ini telah di temukan cukup banyak system golongan darah (Suryo, 2016) Golongan darah mengacu pada pola reaksi tertentu terhadap pengujian antiserum dalam sistem tertentu. Selama periode waktu tertentu, golongan darah telah berkembang menjadi tidak hanya mencakup masalah yang berhubungan dengan transfus tetapi juga hubungan penyakit spesifik dengan permukaan antigen sel darah merah (Mitra dkk, 2014). Golongan darah merupakan salah satu substansi genetik yang ada dalam tubuh manusia. Masing-masing orang tua akan mewariskan salah satu alel golongan darahnya kepada anak mereka. Ketika sejumlah gen asli mengalami mutasi maka, akan membentuk alel, jika mutasi berlangsung sekali maka jumlah alel akan terbentuk berjumlah dua, namun apabila mutasi terjadi berulang-ulang maka jumlah alel yang terbentuk lebih banyak sehingga disebut dengan alel ganda. Sistem penggolongan darah juga berdasarkan pada pembentukan alel ganda (Raditya, 2016).
II.2.1 Sistem Penggolongan Darah ABO
Awal ketertarikan manusia terhadap golongan darah ialah ketika pada abad ke-12 beberapa ilmuwan tertarik untuk mentransfusikan darah hewan kepada manusia. Pada tahun 1492 Paus Innocent ke-VIII menjadi orang pertama yang mendapatkan transfuse darah dari seorang pemuda, namun setelah proses transfuse selesai paus tersebut-pun meninggal. Peristiwa tersebut yang membuat Karl Landsteiner melakukan pengujian terhadap darah dan menghasilkan penemuan mengenai golongan yang dibedakan dalam sistem ABO, yakni diantaranya terdapat golongan darah A, B, AB, dan O (Raditya, 2016).
Sistem penggolongan darah ABO merupakan hasil pengelompokan darah berdasarkan ada atau tidaknya substansi antigen pada permukaan eritrosit. Dalam sistem penggolongan darah ini, dikenal 4 (empat) jenis golongan darah, yaitu golongan darah A, B, O dan AB. Gambaran karakter berdasarkan sistem penggolongan darah ABO telah diteliti oleh beberapa ilmuwan Jepang sejak tahun 1930-an, di antaranya adalah Toshitaka Nomi. Hasil penelitian Toshitaka Nomi mengungkapkan bahwa setiap golongan darah memiliki ritme emosi dan ritme belajar yang berbeda-beda (Tenriawaru, 2013).
II.2.2 Sistem Penggolongan Darah MN
Ada 30 sistem golongan darah yang diakui oleh International Society for Blood Transfusion (ISBT). Beberapa sistem hanya berisi satu determinan, sementara yang lain, seperti Rh dan MNS, mengandung banyak determinan. Sistem golongan darah MNS mencakup tiga gen, sistem Rh dan Chido / Rodgers masing-masing dua gen, dan sisa sistem masing-masing dikodekan oleh satu gen. Gen yang mengendalikan semua sistem golongan darah telah dikloning dan diurutkan serta ditempatkan pada kromosom tertentu. Selain antigen sistem golongan darah, ada sekitar 30 antigen sel darah merah yang terdefinisi dengan baik, sebagian besar dengan prevalensi sangat tinggi atau sangat rendah, yang belum dimasukkan ke sistem karena kurangnya bukti genetik (Reid, 2013).
Pada tahun 1927, Landsteiner dan P. Levine menemukan antigen baru yang mereka sebut antigen-M dan antigen-N. dikatakan bahwa sel darah erh seseorang dapat mengandung salah satu atau kedua antigen tersebut. Jika misalnya eriotrosit seseorang yang mengandung antigen-M disuntikkan ke dalam tubuh kelinci, maka darah kelinci akan membentuk anti-M dalam serum darah kelinci. Apabila antiserum (disebut anti serum karena mengandung zat anti) dari kelinci ini dipisahkan dan digunakan untuk menguji darah orang yang mengandung antigen M, maka eritrosit orang ini akan menggumpal. Cara yang sama, eritrosit seseorang yang mengandung antigen-N akan mendorong kelinci untuk membentuk zat anti N, dengan menggunakan dua macam antiserum ini, tipe darah seseorang dapat ditetapkan, yaitu apakah eritrosit seseorang bereaksi dengan (1) anti-M serum saja, (2) anti-N serum saja atau (3) kedua-duanya anti-M dan anti-N serum. Atas dasar inilah orang dibedakan atas yang mempunyai golongan darah M, N atau golongan darah MN (Suryo, 2016). Klasifikasi sistem MN dari golongan darah manusia didasarkan pada keberadaan glikophorin A (GPA) atau glikophorin B (GPB) di membran eritrosit, yang mengarah ke ekspresi antigen M atau N untuk GPA dan hanya antigen N untuk GPB. Sistem MN telah dikenal untuk menunjukkan jenis respon imun tertentu serta berfungsi sebagai penanda genetik yang layak untuk kondisi kesehatan dan penyakit tertentu. Golongan darah MN telah menunjukkan perbedaan dalam frekuensi alel pada populasi yang berbeda, tetapi biasanya pada HWE. Dengan demikian, pergeseran genetik kemungkinan merupakan alasan perbedaan frekuensialel M dan N antara populasi manusia (Arcellana dkk, 2013).
II.2.3 Sistem Penggolongan Darah Rhesus
Informasi mengenai jenis golongan darah dan rhesus sangat penting diketahu khususnya dalam proses transfuse darah. Hal ini dikarenakan untuk menghindari reaksi imunologik karena perbedaan komposisi kimia eritrosit antara resipien dan donor. Orang yang memiliki Rh+ mengindikasikan darahnya memiliki antigen-Rh yang ditandai dengan reaksi + (penggumpalan eritrosit) pada waktu dilakukan tes dengan anti-Rh (antibodi Rh) Sedangkan dengan orang yang memiliki Rh- mengindikasikan darahnya tidak memiliki antigen Rh yang ditunjukkan dengan reaksi – atau tidak terjadi penggumpalan saat di lakukan tes dengan anti-Rh (antibody Rh) (Suayasa dkk, 2017). Adapun hal untuk mengetahui golongan darah seseorang dilakukan penggolongan darah berdasarkan golongan darah yang dimiliki karena golongan darah adalah ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah. Dua jenis penggolongan darah yang paling penting adalah penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh) (Yahya, 2013).
Ada dua jenis golongan Rhesus, yaitu Rhesus (+) dan Rhesus (-). Orang bergolongan Rhesus + memiliki antigen Rhesus (antigen Rh) pada eritrositnya dan tidak memiliki antibodi. Golongan Rhesus– memiliki antibody Rhesus (anti Rh) pada plasma darahnya dan tidak memiliki antigen. Orang bergolongan Rhesus–bias menjadi donor terhadap golongan Rhesus– maupun Rhesus+ (dalam kondisi darurat). Tetapi orang Rhesus+ hanya diperbolehkan mendonorkan darahnya kepada Rhesus+ saja, dan tidak boleh ke Rhesus–. Alasannya sama seperti golongan darah ABO, yaitu karena Rhesus+ sebagai donor memiliki antigen (antigen Rhesus) dan Rhesus sebagai Resipien memiliki antibody (anti Rhesus). Inkompat ibilitas ini akan menyebabkan penggumpalan (aglutinasi) antigen Rhesus oleh anti Rhesus, dan biasa menyebabkan kematian sang resipien (Widiyanti dkk, 2019).
II.3 Genetika Populasi
Genetika populasi adalah salah satu cabang ilmu genetika yang mempelajari variasi genetik dalam suatu populasi. Cabang ilmu genetika ini banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang, khususnya kesehatan, pemuliaan, dan konservasi. Genetika populasi mengenali arti penting dari sifat kuantitatif, karena cara menentukan penyebaran alel tersebut dilakukan secara matematis. Salah satu saja frekuensi dari suatu gen diketahui dapat digunakan untuk memprediksi frekuensi gen yang lain. Hal tersebut dapat diaplikasikan dalam mendiagnosa penyakit genetik. Frekuensi gen pada suatu populasi dapat berubah apabila terdapat evolutionary forces, yaitu faktor-faktor yang berperan dalam mengubah frekuensi alel dan genotip, antara lain mutasi, migrasi, perkawinan tidak acak, genetic drift dan seleksi alam (Khoiriyah, 2014).
Terdapat beberapa faktor yang sangat berperan dalam kejadian evolusi pada suatu populasi, yaitu mutasi, rekombinasi, seleksi alam, genetic drift, gene flow, dan perkawinan yang tidak acak. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi keragaman genetik pada suatu populasi (Afrida dan Ghofur, 2014). Genetika populasi akan menjadi lebih akurat dengan ukuran sampel yang lebih besar, yaitu dengan lebih banyak individu yang mewakili populasi tertentu (Fumagalli, 2013).
Genetika populasi didasarkan pada asas atau hukum Hardy-Weinberg. Hukum ini menyatakan bahwa frekuensi alel dan frekuensi genotip dalam suatu populasi akan tetap konstan atau dalam kesetimbangan dari generasi ke generasi kecuali terjadi perkawinan tak acak, mutasi, seleksi, ukuran populasi terbatas, hanyutan genetik, dan aliran gen (Ampat dkk, 2014).
II.4 Hukum Hardy-Weinberg
Setiap ahli biologi dengan pemahaman genetika yang paling sepintas sekalipun tahu tentang prinsip Hardy-Weinberg (HW) (juga dikenal sebagai hukum HW), yang dijelaskan di awal bidang genetika populasi, segera setelah karya Mendel ditemukan kembali. Prinsip HW membuat 2 dalil yang sangat penting: 1) setelah satu episode perkawinan acak, frekuensi geno tipik dapat diekspresikan sebagai fungsi sederhana dari frekuensi alel, dan 2) tanpa adanya kekuatan yang mengganggu (seperti seleksi, genetik drift, mutasi, migrasi), frekuensi genotypic dan alel tetap konstan dari waktu ke waktu (Marine dkk, 2015).
Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak yang bebas dari faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya proses evolusi seperti mutasi, migrasi, dan pergeseran genetik. Suatu populasi dinyatakan dalam keseimbangan Hardy Weinberg jika frekuensi genotipe (p2 , 2pq, dan q2 ) dan frekuensi alel (p dan q) konstan dari generasi ke generasi akibat penggabungan gamet yang terjadi secara acak (Maulani dkk, 2013). Hukum ini merupakan dasar dari genetika populasi, menyatakan, sebagian, bahwa dalam populasi besar randommating pada kesetimbangan (yaitu tidak ada seleksi, migrasi atau penyimpangan genetik), frekuensi genotipe adalah fungsi dari frekuensi alel dan frekuensi genotipe dapat diprediksi dari yang terakhir. Oleh karena itu, penyimpangan yang signifikan dari prediksi HWE dapat menjadi cerminan pelanggaran asumsi HWE pada populasi umum tetapi juga dapat berasal dari sumber lain seperti stratifikasi populasi dan ke salahan genotipe (Namipashaki dkk, 2015).
II.4.1 Faktor yang Mempengaruhi Hukum Hardy-Weinberg Prinsip keseimbangan genetik Hardy-Weinberg mengatakan, frekuensi alel pada suatu generasi akan tetap sama pada generasi setelahnya pada keadaan populasi yang seimbang. Keadaan populasi yang seimbang pada prinsip keseimbangan genetik populasi Hardy-Weinberg adalah populasi harus berukuran besar, perkawinan terjadi secara acak, tidak terjadi mutasi, migrasi, dan genetic drift, dan tidak terjadi seleksi alam. Prinsip keseimbangan genetik populasi dirumuskan (Prawisuda dkk, 2014). Prinsip dasar HWE telah di generalisasikan ke konteks genetik populasi yang lebih luas. Ini telah diperluas ke beberapa alel di mana satu generasi perkawinan acak berada cukup untuk mencapai keseimbangan. Dengan lebih dari satu lokus, HWE tidak dapat di dekati dalam satu generasi tetapi secara asimtotik, pada kecepatan yang bergantung pada masing-masing fraksi pada suatu rekombinasi (Sun dkk, 2020).
Hukum Hardy-Weirnberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak yang bebas dari factor yang berpengaruh terhadap terjadinya proses evolusi seperti mutasi, migrasi dan pergeseran genetik. Hukum Hardy-Weirnberg juga akan berlaku apabila pembelahan sel kelamin (meiosis) terjadi secara merata, tidak ada materi genetic baru dalam suatu populasi, terjadi perkawinan secara acak, populasi tak terbatas, jumlah pasangan memiliki jumlah keturunan yang sama dan semua genotip bertahan dengan probabilitas yang sama (Maulani dkk, 2016).
Adapun penjelasan dari faktor-faktor yang mempengaruhi hukum Hardey Weinberg yakni sebagai berikut (Apriani, 2021):
1. Tidak terjadi mutasi.
Contohnya pada kasus albino yang kembali menjadi normal. Jika hal ini terjadi maka akan mengubah frekuensi gen albino dalam suatu populasi. Namun, kemungkinan untuk terjadinya mutasi albino kembali menjadi normal peluangnya kecil membutuhkan waktu yang lama sebab tidak semua mutasi langsung terekspresi dengan mudah.
2. Perkawinan acak.
Perkawinan manusia pada prinsipnya acak, artinya setiap orang bebas memilih pasangan meskipun ada hal tertentu yang mengurangi keacakan tersebut seperti pilihan menikah dengan satu suku, dengan kerabat dekat atau dengan kriteria sesuai pilihannya.
3. Tidak terjadi seleksi alam.
Setiap orang tidak bisa menghindari seleksi alam. Faktor seleksi alam banyak, dimulai sejak dalam kandungan sampai meninggal. Saat dalam kandungan akan terseleksi oleh makanannya, misalnya kekurangan asupan gizi yang menyebabkan janin dalam kandungan akan meninggal dan tidak menjadi individu baru.
4. Jumlah populasi yang besar.
Jumlah populasi juga termasuk dalam faktor hukum Hardey-Weinberg, makin besar jumlah populasi akan semakin memperngaruhi suatu hukum Hardey-Weinberg.
5. Tidak terjadi migrasi.
Migrasi terjadi karena mudahnya berbagai moda transportasi yaitu transportasi darat, laut, dan udara yang membuat migrasi sangat sulit dihentikan. Mudahnya akses sarana dan prasarana, ada alat transportasi, dan meningkatnya kesejahteraan akan membuat migrasi semakin mudah. Jika tidak terjadi migrasi maka populasi akan bertambah dan perkawinan juga bertambah dalam populasi tersebut.
Jika lima syarat yang diajukan dalam kesetimbangan Hardy-Weinberg tadi banyak dilanggar, jelas akan terjadi evolusi pada populasi (Pangabean, 2016).
BAB III
METODE PERCOBAAN
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah kaca preparat, pipet tetes, dan autoclick.
III.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah masing-masing praktik an sebanyak 2 tetes, serum anti-A, anti-B, dan kapas beralkohol.
III.2 Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Digunakan kaca preparat sebanyak 1 buah untuk masing-masing praktikan.
3. Diambil darah praktikan dengan menggunakan autoclik kemudian tetesi pada kaca preparat sebanyak 2 tetes.
4. Dibersihkan jari menggunakan kapas beralkohol agar tidak terjasi infeksi.
5. Diteteskan serum anti-A dan anti-B menggunakan pipet tetes di atas kaca preparat dan aduk secara merata, diamkan selama 1 menit.
6. Dilihat adakah darah yang menggumpal pada darah yang telah di tetesi serum anti-A dan anti-B, kemudian menentukan golongan darahnnya.
7. Dihitung frekuensi alel dan genotip darah populasi dalam kelas menggunakan persamaan Hardy-Weinberg.
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
IV.1.1 Tabel Data
Tabel IV.1 Data Golongan Darah Kelompok IV
IV.2 Analisis Data
Diketahui:
Golongan darah A: 3
Golongan darah B: 5
Golongan darah AB: 1
Golongan darah O: 5
Total : 14 orang
Ditanyakan:
A. Frekuensi alel IA IB i
B. Persentase golongan darah
Penyelesaian :
A. Frekuensi alel IA IB i
(Misalkan) alel IA = p, IB = q, i= r
(p + q +r) = 1
1. Frekuensi alel i
r2 = frekuensi golongan darah O
r2= 514 ⁄
r2 = 0,35
r = √0,35
r = 0,59
Jadi, frekuensi alel i ialah 0,59.
2. Frekuensi alel IA
(p + r)2 = frekuensi golongan darah A + frekuensi golongan darah O
(p + r)2 = 5 + 3/14
(p + r)2 = 0,57
p + r = √0,57
p + r = 0,75
p + 0,6 = 0,75
p = 0,75 – 0,59
p = 0,16
Jadi, frekuensi alel IA ialah 0,16. 3. Frekuensi alel IB
p + q + r = 1
q = 1 - (0,16 + 0,59) q = 1 - 0,75
q = 0,25
Jadi, frekuensi alel IB ialah 0,25. B. Persentase golongan darah
1. Golongan darah A Homozigot p2 = (0,16)2 x 14 = 1 orang
2. Golongan darah A Heterozigot 2pr = 2 x 0,16 x 0,59 x 14 = 2 orang 3. Golongan darah B Homozigot q2 = (0,25)2 x 14 = 1 orang
4. Golongan darah B Heterozigot
2qr = 2 x 0,25 x 0,59 x 14 = 4 orang
5. Golongan darah AB
2pq = 2 x 0,16 x 0,25 x 14 = 1 orang
6. Golongan darah O
r2 = (0,59)2 x 14 = 5 orang
Persentase golongan darah A, B, AB dan O
1. Persentase golongan darah A Homozigot (IAIA) = 1/14 x 100% = 7,1% 2. Persentase golongan darah A Heterozigot (IAIO) = 2/14 x 100% = 14,3% 3. Persentase golongan darah B Homozigot (IBIB) = 1/14 x 100% = 7,1% 4. Persentase golongan darah B Heterozigot (IBIO) = 4/14 x 100% = 28,6% 5. Golongan darah AB (IAIB ) = 1/14 x 100% = 7,1%
6. Golongan darah O (IOIO)= 5/14 x 100% = 35,8%
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa golongan darah dalam populasi kelompok 4 yaitu golongan darah A terdapat 3 orang, golongan darah B terdapat 5 orang, golongan darah AB terdapat 1 orang dan golongan darah O terdapat 5 orang. Kemudian golongan darah dalam populasi kelompok 4 memiliki frekuensi IA adalah 0,16 alel IB adalah 0,25 dan frekuensi alel I adalah 0,59. Serta persentase golongan darah populasi kelompok 4 yaitu persentase golongan darah A Homozigot (IAIA) adalah 7,1%, persentase golongan darah A Heterozigot (IAIO) adalah 14,3%, persentase golongan darah B Homozigot (IBIB) adalah 7,1%, persentase golongan darah B Heterozigot (IBIO) adalah 28,6% persentase golongan darah AB (IAIB) adalah 7,1% dan persentase golongan darah O (IOIO) adalah 35,8%.
V.2 Saran
V.2.1 Saran untuk Laboratorium
Kebersihan serta fasilitas laboratorium harus selalu terjaga.
V.2.2 Saran untuk asisten
Menurut saya, asisten telah menyampaikan materi dengan sangat baik. V.2.3 Saran untuk Praktikum
Menurut saya saran untuk praktikum selanjutnya dikarenakan dilakukan secara virtual namun hal tersebut seharusnya dilakukan dengan cara yang dapat membuat para peserta lebih aktif dalam kelas virtual tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arcellana, A. E. S., dkk. 2013. Distribution of MN blood group types in local populations in Philippines. Journal of Genetics, 90(3): 90–93.
Afrida, I. R., dkk. 2014. Pengembangan Bahan Ajar Mata kuliah Genetika Populasi Berbasis Penelitian Keragaman Genetik Kerbau Lokal Tana Toraja dan Lombok. Jurnal Kependidikan, 13(4): 337-347.
Ampat, H. E. R. 2014. Konservasi Biodiversitas Raja4. Buletin KBR4 adalah bagian proyek Marine Biodiversity of Raja Ampat Islands yang didanai oleh program USAID PEER dan dikerjakan oleh Universitas Negeri Papua. 9 (3): 1-8.
Apriani, D., dkk. 2021. Frekuensi Gen Albino Dalam Populasi Masyarakat Batauga Berdasarkan Hukum Hardy Weinberg. Jurnal Alumni Pendidikan Biologi. 6 (1) : 26-30.
Campbell N. A., dkk. 2010. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 1. Jakarta : Erlangga. Effendi Y. 2020. Buku Ajar Genetika Dasar. Magelang : Pustaka Rumah C1nta.
Fumagalli M. 2013. Assessing the effect of sequencing depth and sample size in population genetics inferences. PloS one, 8(11): e79667.
Mitra, R., Mishra, N., & Rath, G. P. 2014. Blood groups systems. Indian journal of anaesthesia. 58(5) : 524-528.
Marine, N., dkk. 2015. Testing for Hardy – Weinberg Proportions : Have We Lost the Plot. 106(1), 1–19.
Maulani, N. L., dkk. 2016. Keragaman Genetik Itik Magelang Berdasarkan Lebar Kalung Leher Melalui Analisis Protein Plasma DArah di Satuan Kerja Itik Unit Banyubiru Ambarawa. Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 11(1): 28-30.
Namipashaki, A., dkk. 2015. The Essentiality of Reporting Hardy-Weinberg Equilibrium Calculations in Population-Based Genetic Association Studies Citation: Namipashaki A, Razaghi-Moghadam Z, Ansari-Pour N. The essentiality of reporting hardy-Weinberg equilibrium calculations in popu. Cell Journal (Yakhteh) Cell J, 17(172): 187–192.
Khoiriyah, Y. N. 2014. Karakter Genetik Populasi Bedeng 61B Desa Wonokarto Kabupaten Lampung Pasca Progra Kolonisasi Pemerintah Belanda. Jurnal Ilmiah Biologi. 2(2): 132-137.
Raditya, A., dan Antropologi, D. 2016. Distribusi Golongan Darah AB0 pada Masyarakat Tengger. AntroUnaridotNet. 5 (3): 411-421.
Reid, M. E. 2013. Blood Group Systems. In Brenner’s Encyclopedia of Genetics: Second Edition. 1(1): 351-352.
Siti A. 2011. Faktor penentu penggolongan darah.
Sun, L., dkk. 2020. Recursive Test of Hardy-Weinberg Equilibrium in Tetraploids. Trends in Genetics. 1 (1) :1-10.
Suryo. 2016. Genetika Manusia. Universitas Gadja Mada : Yogyakarta. Susanto dan Agus Hery. 2011. Genetika. Graha ilmu. Yogyakarta.
Widiyanti, N. L. P. M., dkk. 2019. Golongan Darah Dari Hasil Uji Laboratorium Di Berbagai Wilayah Bimbingan Teknis Balai Besar Laboratorium Kesehatan. In Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat. 4 (1) : 301-310.
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar